FILSAFAT, IDEOLOGI, PARADIGMA DAN MODEL-MODEL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH

Standar

ABSTRAK

Filsafat dapat dimaknai sebagai cinta pada ilmu atau pengetahuan, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Orang yang mempelajari filsafat sejatinya bukan hanya orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Ilmu merupakan jenis pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan untuk mendapatkannya perlu usaha dengan cara studi, observasi, dan eksperimen. Filsafat Ilmu merupakan usaha untuk mengkaji dan mendalami ilmu, baik dari ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu tersebut bagi kehidupan manusia. Hal ini juga tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli. Pertanyaan-pertanyaan yang menjawab aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis merupakan pendekatan sebagai bentuk sifat kritis dalam filsafat.  Kritisnya filsafat dimaknai dalam arti tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu telah selesai, bahkan senang untuk membuka peluang perdebatan kembali. Ilmu pendidikan tidak lagi sekedar merupakan ilmu (science), tetapi telah menjelma menjadi kekuatan massa yang besar (sebagai filsafat yang diyakini bersama) yang disebut ideologi, yakni ideologi pendidikan. Oleh karena ideologi pendidikan dipandang mampu mengubah perilaku individu dan masyarakat secara sistematis, maka berbagai faktor kepentingan mempengaruhi penetapan pilihan ideologi pendidikan yang dikembangkan di suatu negara demi alasan politik. Paradigma pendidikan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan menuntut adanya perubahan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai. Pendidikan yang hanya berfokus pada aspek intelektual dirasa masih kurang memenuhi tuntutan zaman.

Menurut sejarah, istilah philosophia pertama kali digunakan oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6 SM).  Ketika diajukan pertanyaan kepadanya, “Apakah anda termasuk orang yang bijaksana?. Dengan rendah hati Phytagoras menjawab, “Saya hanya seorang philosophos, “pencinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Jawaban Pythagoras ini sebagai reaksi terhadap kaum sophos, yakni sekelompok cendekiawan yang menggunakan hujah-hujahnya untuk mengalahkan lawan-lawan debatnya (Maksum, 2009)

PENDAHULUAN

Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua dan arah pandangannya akan bertuju jauh ke masa Yunani Kuno. Filsafat dalam bahasa Inggris yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang terdiri dari dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi) (Bakhtiar, 2004). Oleh karena itu, filsafat berarti cinta terhadap kebijaksanaan (wisdom) (Nicholson, 2016). Sikap bijaksana dalam pengambilan keputusan dalam upaya melakoni kehidupan, dari dahulu hingga sekarang masih tetap dibutuhkan (Alwasilah, 2008). Filsafat dapat dimaknai sebagai cinta pada ilmu atau pengetahuan, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Para ahli filsafat disebut dengan filsuf, yakni orang yang mencintai kebijaksanaan atau kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana (Jalaluddin & Idi, 2014). Filsuf bukan hanya orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar mencari kebenaran atau kebijaksanaan (Hakim, 2008).

Secara terminologi, arti yang terkandung dalam filsafat memiliki batasan-batasan tergantung siapa yang mendefinisikan. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan berpikir manusia yang yang berusaha untuk mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan adalah buah pikiran yang dihasilkan filsafat dalam usaha mencari saling hubungan antara pengetahuan, dan menemukan implikasinya (Salam, 2005). Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai kebenaran pengetahuan yang asli dan murni (Surajiyo, 2005). John Dewey, seorang tokoh pragmatisme, berpendapat bahwa filsafat harusnya dipandang sebagai suatu pengungkapan mengenai perjuangan manusia secara terus-menerus dalam upaya penyesuaian berbagai tradisi yang membentuk budi manusia terhadap kecenderungan ilmiah dan tujuan politik dan yang tidak sejalan dengan nilai yang diakuinya (Achmadi, 2012). Dalam istilah paling luas dan umum, filsafat adalah upaya manusia untuk berpikir secara spekulatif, reflektif dan sistematis mengenai alam semesta tempat ia tinggal dan hubungannya dengan alam semesta itu (Lee Gutek, 1974). Dengan kata lain, fisalat merupakan alat untuk membuat penyesuaian diantara kebudayaan yang lama dan yang baru.

Setelah definisi filsafat diketahui, lalu apa yang dimaksud dengan ilmu?  Secara linguistik kata ilmu berasal dari bahasa Arab:‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar dan dapat diartikan sebagai “pengetahuan” (Bakhtiar, 2004).  Namun dalam filsafat, ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan belum tentu adalah ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang memproduksi teori sebagai hukum tentang segala pengetahuan dan terakumulasikan secara spesifik (Saebani, 2009). Pemerolehan ilmu secara metodis sekaligus menunjukkan bahwa ilmu muncul sebagai output dari proses penalaran atau proses yang bersifat ilmiah (Etis, 2019). Satu atau banyaknya pengetahuan tentang sesuatu belum tentu telah menjadi ilmu. Jika semua pengetahuan itu telah terakumulasikan dan teruji, barulah disebut dengan ilmu. Oleh karena itu, ilmu bersifat objektif dan realistik yang telah terukur validitasnya (Saebani, 2009). Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu  merupakan jenis pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan untuk memperolehnya dilakukan dengan cara studi, observasi, dan eksperimen.

Setelah mengenal pengertian filsafat dan juga ilmu, maka pemahaman mengenai Filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Filsafat Ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Dengan kata lain, Filsafat Ilmu merupakan usaha untuk mengkaji dan mendalami, baik dari ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Hal ini juga tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan aksiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.

Banyak ahli telah mengemukakan definisi atau pengertian filsafat ilmu berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Setiap sudut pandang tersebut sangat penting untuk pemahaman yang komprehensif. Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia (Idris & Ramly, 2016).  Intinya filsafat ilmu menekankan proses ilmiah secara sistematis yang dilakukan oleh para peneliti untuk menemukan dan mengklasifikasikan tentang obyek-obyek ilmu (Umar, 2018). Hal yang penting untuk dipahami bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri.

Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri. Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science(teori ilmu), metascience(adi-ilmu), dan science of science(ilmu tentang ilmu)(Surajiyo, 2010). Filsafat ilmu sesungguhnya akan menjembatani lahirnya pendekatan multidisiplin yang sangat diperlukan karena terbatas dan sempitnya kajian keilmuan terhadap realitas fisik yang sesungguhnya bersifat multidimensional (Asy’arie, 2016). Filsafat ilmu diperlukan karena kajian keilmuan yang semakin spesifik dan menjadikan ilmu pengetahuan tidak bisa memecahkan masalah kemanusiaan dan kehidupan yang semakin modern dan kompleks. Problem kemanusiaan dan kehidupan ini bersifat multidimensional yang tidak bisa dipecahkan melalui pendekatan tunggal keilmuan saja. Kini diperlukan suatu pendekatan yang multidisiplin yang melibatkan berbagai kajian keilmuan bekerjasama dan menyatu untuk menyelesaikan permasalahan multidimensi kemanusiaan.

Filsafat ilmu diperkirakan lahir pada abad ke-18 Masehi dan tokoh kuncinya sering disandingkan dengan Immanuel kant. Mengapa tokoh ini disebut sebagai founder filsafat ilmu? Hal ini ternyata karena dilatari satu asumsi yang menyebutkan bahwa Immanuel Kant pernah menyatakan kalau filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Refleksi aksiologis (manfaat ilmu) atas capaian apapun dalam bidang ilmu, hanya mungkin dikawal oleh apa saja yang disebut dengan filsafat. Tanpa filsafat, menurunnya ilmu akan selalu bias makna (Sumarna, 2020).

Seperti diketahui, filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang telah berkembang menjadi disiplin ilmu yang bersifat otonom. Sejalan dengan hal itu, maka kajian filsafat ilmu adalah telaah secara filsafat tentang hakikat ilmu. Adapun hakikat ilmu tersebut mengacu pada jawaban pertanyaan: ada, bagaimana dan untuk apa? (Jalaluddin, 2014). Pertanyaan pertama mengacu kepada jawaban tentang apa hakikat ilmu pengetahuan itu. Pertanyaan ini menuntut jawaban berupa substansi atau hakikat objek yang diketahui. Adapun pertanyaan berikutnya yakni bagaimana hubungan dengan proses dan cara yang digunakan untuk menemukan dan memperoleh ilmu pengetahuan itu.  Selanjutnya, jawaban dari pertanyaan untuk apa, terkait dengan kegunaan atau pemanfaatan ilmu pengetahuan yakni nilai kegunaan ilmu pengetahuan itu sendiri (Jalaluddin, 2014). Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologis, kelompok yang kedua adalah epistemologis dan untuk kelompok ketiga disebut aksiologis (Suriasumantri, 1990).

Pertanyaan-pertanyaan yang menjawab aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis merupakan pendekatan sebagai bentuk sifat kritis dalam filsafat (Hakim, 2008). Kritisnya filsafat dimaknai dalam arti tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu telah selesai, bahkan senang untuk membuka peluang perdebatan kembali. Ahli filsafat selalu berpikir kritis dengan melakukan pemeriksaan kedua (a second look) terhadap bahan-bahan yang disajikan orang awam (common sense) (Zaprulkhan, 2013).

ONTOLOGI ILMU

Ontologi, atau juga sering diistilahkan dengan metafisika, merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat kenyataan. Kendati kedua istilah tersebut di satu sisi sering dipergunakan secara identik satu sama lain, di sisi lain istilah Ontologi juga dibedakan dari Metafisika. Ontologi adalah suatu bentuk Metafisika umum, yang berbeda dengan cabang-cabang Metafisika khusus lainnya (Teologi Metafisik; Kosmologi Metafisik; dan Antropologi Metafisik) (Idris & Ramly, 2016).

Dalam dunia pemikiran filsafat, posisi kajian ontologi adalah kajian untuk mencari hakikat dari sesuatu yang ada. Berangkat dari hakikat ada yang paling rendah dalam kebudayaan, kemudian meningkat pada hakikat yang ada dalam diri manusia, selanjutnya naik pada hakikat yang ada pada alam semesta, dan sampai ke puncaknya hakikat yang paling tinggi yaitu hakikat tentang Tuhan (Asy’arie, 2016). Ontologi sebagai salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan pertama kali dipopulerkan oleh beberapa tokoh Yunani, seperti Thales, Plato dan Aristoteles, yang pada masa itu orang belum mampu membedakan antara penampakan kenyataan, sehingga Thales pernah sampai pada kesimpulan bahwa air adalah substansi terdalam yang menjadi asal mula semua hal yang ada (Hasan, 2011).

Yang ada dan yang tiada dipahami sebagai ciri paling utama yang dimiliki suatu. Istilah-istilah “yang-ada” merupakan suatu ciri yang melekat pada apa saja, bahkan pada segala sesuatu. Penerapan pengertian “ada” seakan-akan mempersatukan segala sesuatu yang ada, dan menunjukkan suatu ciri yang sepenuhnya sama yang dipunyai oleh segala sesuatu tadi. Tanpa sifat “ada”, tidak mungkin ada sesuatu yang berksistensi, bahkan tidak mungkin ada sesuatu yang dipikirkan (Hasan, 2011). Kajian ontologi antara ada dan nyata mempunyai pengertian yang tidak sama karena yang ada tidak harus nyata, tetapi yang nyata pasti ada. Ada yang nyata adalah ada yang empirik, yang bisa diukur, ditimbang, dirasa, di bau, berada dalam ruang dan waktu, ada bentuk yang bisa digambar atau difoto. Ada yang empirik, yang fisik, yang materi adalah yang menjadi objek dari kajian ilmu pengetahuan (Asy’arie, 2016).

Bertolak dari perkembangan sejarah ontologi, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya ontologi adalah pengetahuan ilmu atau ajaran tentang keberadaan atau ajaran tentang yang ada, dan populer pada abad ke-17 dan 18, sehingga ontologi dinyatakan sebagai ilmu yang mencari esensi dari eksistensi terdalam dan terakhir (Hasan, 2011). Istilah ontologi ilmu bisa disebut sebagai “apanya ilmu” yang bermakna tentang hakekat dasar apa yang dimaksud dalam ilmu itu sendiri.

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang ada?. Ada 4 macam aliran filsafat yang mencoba memberikan jawaban atas persoalan di atas yaitu: Materialisme; Idealisme; Dualisme; dan Agnosticisme (Praja, 2003) : 

1.Materialisme

Istilah materialisme didefinisikan dalam berbagai pandangan. Salah satunya yang terkenal adalah memaknai materialisme sebagai unsur atom yang berada sendiri dan merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran termasuk di dalamnya sebagai proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Materialisme modern mengatakan bahwa alam ini merupakan kesatuan material yang tidak terbatas. Alam, termasuk kesatuan material yang tidak terbatas, termasuk di dalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, objektif, yang dapat diketahui oleh manusia (Praja, 2003). Materialisme beranggapan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri. Hakikat meja adalah meja itu sendiri. Hakikat tanah adalah tanah itu sendiri, begitu pula yang lainnya.

2. Idealisme

Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan dari benda material. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal (mind) adalah fenomena, maka idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan (Praja, 2003). Dengan kata lain, konsep idealisme yang bisa kita pahami mengenai hakikat adalah ide atau akal, atau jiwa, dan bukan sebuah materi.

3. Dualisme

Teori idealisme menganggap bahwa materi maupun ruh sama-sama hakikatnya. Dalam idealisme, materi dianggap muncul bukan karena adanya ruh, begitu juga sebaliknya. Misalnya jika jiwa sedang sakit, maka badan pun ikut merasakan sedih, wajah murung, dan sebagainya. Sebaliknya, jika jiwa seseorang sehat, badan pun kelihatan sehat (Praja, 2003). Hal tersebut merupakan gambaran bagi kita bahwa adanya hubungan atau kerja sama antara jiwa dengan badan, kerjasama yang terjadi secara spontanitas. Dualisme adalah aliran filsafat yang lahir sebagai penengah antara materialisme dan idealisme.

4. Agnosticisme

Agnosticisme adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu dibaik kenyataan ini. Manusia tidak mungkin mengeteahui apa hakikat batu, air, api dan lain sebagainya. Sebab menurut paham ini, kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya (Praja, 2003). Namun aliran ini tidak memberikan kejelasan makna siapa yang mengetahui hakikat sesuatu yang ada sebenarnya.

Dari pembahasan landasan ontologis ini, diharapkan kita dapat memiliki gambaran yang kompleks dan holistik mengenai ilmu, yakni menemukan ciri-ciri khas ilmu bila dibandingkan dengan berbagai macam kegiatan yang kita lakukan. Kita juga diharapkan menyadari bahwa ilmu merupakan kegiatan akal budi manusia yang tentu saja juga memiliki arah dan tujuan (Wahana, 2016). Filsafat Ilmu dapat membantu kita dalam memperoleh pengetahuan ilmiah, yang kebenarannya cukup dapat dipertanggungjawabkan, di samping perlu disadari adanya tingkatan target yang perlu diusahakan dalam kegiatan ilmiah. Beberapa target yang secara berjenjang menjadi sasaran kegiatan ilmiah, yaitu: pengetahuan deskriptik, pengetahuan kausatif, pengetahuan prediktif, dan pengetahuan operatif. Dengan demikian Filsafat Ilmu akan mampu menunjukkan orientasi yang tepat dari kegiatan ilmu pengetahuan.

EPISTEMOLOGI ILMU

Ada beberapa pertanyaan yang perlu dipahami sebagai kerangka umum dalam memahami epistemologi, pertanyaan tersebut antara lain adalah:1)  Apakah yang dimaksud dengan mengetahui itu; 2) apakah yang menentukan asal pengetahuan itu; 3) bagaimana cara mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan; 4) Bagaimana cara membedakan antara pengetahuan dan pendapat; 5)  apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu; 6) berapa banyak corak ragam pengetahuan yang ada; 7) bagaimanakah cara memperoleh pengetahuan; 8) apakah kebenaran dan kesesatan itu; 9) apakah  kesalahan itu?. Ketika pertanyaan tersebut telah dipahami dan telah mampu untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan tersebut, berikutnya kita dapat memahami pokok bahasan epistemologi.

Dimensi epistemologis ilmu menjelaskan tentang prosedur atau tata cara ilmu menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah. Dimensi ini sekaligus menjadi landasan penyelidikan ilmiah, yang harus dimiliki oleh setiap ilmu, sebagai salah satu persyaratan utama (Idris & Ramly, 2016). Epistemologi termasuk kajian penting dalam filsafat ilmu, karena epistemologi membahas prosedur dan cara bagaimana suatu ilmu pengetahuan diperoleh atau ditemukan (Hasan, 2011).

Kata epistemologi ditinjau dari sisi etomologi merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan teori, sehingga epistemologi dapat diartikan sebagai suatu kajian atau teori filsafat mengenai esensi pengetahuan yang dapat memperjelas dan menjelaskan suatu fenomena (Abidin, 2011). Epistemologi juga dinyatakan sebagai “The branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, Its presupposition and basis, and the general reliability of claims to knowledge” (Hasan, 2011).

Konteks epistemologi merupakan aktifitas filsafat yang muncul segera setelah manusia merefleksikan pengetahuannya, karena pertanyaan tentang diri sebagai subyek yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tidak akan muncul kecuali berawal dari pemikiran reflektif. Dari sini pula dapat dipahami bahwa filsafat pengetahuan (Filsafat Ilmu) sama luasnya dengan filsafat. Epistemologi bertujuan untuk mengungkap (mengoreksi) sejauh mana pengetahuan yang diperoleh mencapai validitas yang benar-benar memiliki landasan yang kuat dan konsisten yang pada akhirnya kebenaran pengetahuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Abdul, 2015).

Ciri utama epistemologi adalah menggunakan akal dan rasio sehingga yang dimaksud metode akal disini adalah meliputi seluruh analisis rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushuli dan ilmu hudhuri, dan dari dimensi lain untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perbuatan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisis sejarah. Ciri-ciri epistemologi adalah sebagai berikut: 1) bersifat sentral, yaitu posisi antara subjektif dan objektif; 2) landasan bagi segenap tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari; 3) dasar bagi pengembangan pemikiran ilmiah; 4) jembatan antara alam keharusan yang bersifat kejiwaan dan alam yang bersifat (Hasan, 2011).

Apa sebenarnya kebenaran itu? Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Kebenaran dalam filsafat adalah lawan dari kekhilafan kekeliruan atau khayalan. kebenaran adalah soal hubungan antara pengetahuan dan apa yang menjadi objeknya, konsep kebenaran epistemologi terkait dengan sebuah pernyataan, kebenaran bersifat semantik, sehingga kebenaran itu ada pada proposisi bukan pada sintaksis. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian antara fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar.

Berikut ini beberapa teori kebenaran yang dapat membantu para pencari pengetahuan menjelaskan berbagai temuan dari penelitian mereka

  1. The correspondence theory of truth. Menurut teori ini, suatu pernyatan dapat dinyatakakn benar ketika pernyatan tersebut memiliki kesesuaian antara apa yang dinyatakan dengan fakta sesungguhnya.
  2. The consistence theory of truth. Teori ini mengisyaratkan bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita kui benarnya terlebih dahulu.
  3. The pragmatic theory of truth. Teori ini baranggapan bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada berfaedah tidaknya ucapan, dali, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehiduapannya (Hasan, 2011).

Dalam ranah filsafat dikenal banyak aliran yang mengemukakan pandangan beragam tentang pengetahuan, antara lain:

1.Rasionalisme

Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan berasal dari rasio, karena rasio merupakan dasar kepastian pengetahuan. Dengan kata lain, pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui rasio atau akal. 

2. Empirisme

Empirisme berasal dari bahasa Yunani yaitu empirikos, diambil dari kata empiria, yang dapat diartikan sebagai pengalaman. Dalam aliran ini dipahami bahwa sumber pengetahuan adalah aspek empiris dari pengalaman nyata yang ditangkap oleh indera manusia.

3. Intuisionisme

Intuisionisme adalah aliran yang menolak bahwa pengetahuan hanya berdasar pada rasio atau pemikiran belaka karena pemahaman yang demikian pada hakikatnya kurang cermat dan tidak sehat, karena menganggap objek-objek yang dirasakan manusia itu adalah objek yang selalu berubah-ubah (dinamis). Sementara akal atau rasio hanya bisa menangkap dan memahami secara penuh manakala mampu fokus pada objek tertentu saja. Dengan kata lain untuk memperoleh pengetahuan yang sebenar-benarnya dan sistemik dibutuhkan intuisi.

4. Positivisme

Positivisme yaitu pandangan yang meyakini bahwa segala sesuatu harus dapat diverifikasi, harus jelas ukuran yang logis dan rasional, dapat dibuktikan dan dapat diuji secara ilmiah melalui observasi. 

5. Skeptisisme

Skeptisisme adalah paham yang mengingkari adanya pengetahuan yang sesungguhnya tentang adanya pengetahuan, karena menurut aliran ini pada dasarnya tidak ada metode untuk mengetahui agar manusia memiliki pengetahuan. 

6. Idealisme

Idealisme adalah aliran yang menyatakan bahwa yang ada sebenarnya adalah ide-ide dan cita-cita saja yang nyata. Idealisme menganggap bahwa adanya sesuatu itu ialah ada dalam bentuk tanggapan berbagai keberadaan suatu objek, sehingga kita tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana objek menurut dirinya sendiri (Hasan, 2011).

AKSIOLOGI ILMU

Sebagaimana halnya dimensi ontologis dan epistemologis, setiap ilmu juga memiliki landasan yang berdimensi aksiologis. Dimensi aksiologis ilmu menjelaskan muatan-muatan nilai atau tujuan-tujuan hakiki dari berbagai kegiatan ilmiah. Namun sebelum menguraikan dimens aksiologis ilmu perlu terlebih dahulu dijelaskan apakah yang dimaksud dengan aksiologi. Aksiologi berasal dari kata Inggris, axiology, yang berasal dari kata Yunani, axios yaitu layak atau pantas, dan logos berarti ilmu (Hermawan, 2011). Aksiologi didefinisikan sebagai: a branch of philosophy dealing with the nature of values and types of values as in morals, aesthetics, ethics, religion, and methaphysics (cabang filsafat yang berurusan dengan sifat nilai-nilai dan jenis nilai seperti dalam bidang moral, estetika, etika, agama, dan metafisika) (Idris & Ramly, 2016).

Dapat kita pahami bahwa aksiologi merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan ragam dan kriteria nilai serta keputusan atau pertimbangan dalam menilai, terutama dalam etika atau nilai-nilai moral, di samping juga nilai-nilai estetika. Aksiologi juga merupakan suatu paradigma yang berpengaruh penting dalam penelitian ilmiah. Setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari muatan aksiologi, karena aksiologi memberi landasan arah dan tujuan yang diharapkan atau ingin dicapai oleh penelitian ilmiah.

Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Apakah manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia menjadi persoalan utama yang ditinjau. Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan? Kondisi persoalan ini bukan lagi mengenai kebenaran ilmu, melainkan kebaikan (manfaat) ilmu. Hal ini juga disebut dengan etika. Pertanyaan dalam landasan aksiologis ini tidak dijawab oleh ilmu, melainkan oleh manusia yang berada di balik ilmu tersebut. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Jadi sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti dan hal ini merupakan permasalahan yang pelik (Sudiantara, 2020). Ilmuwan tidak hanya sebatas ilmuwan, tetapi harus mengembangkan tanggungjawab sosial dengan tidak melepaskan kekuatan-kekuatan yang tidak dapat dikuasai manusia lagi. Pembatasan penggunaan pengetahuan ilmiah menuntut penanganan yang menyeluruh karena ilmuwan itu sendiri tidak berdaya menangani masalah-masalah etis.

Dalam aksiologi ilmu atau filsafat terdapat juga sejumlah aliran, antara lain: Hedonisme, Vitalisme, Utilitarianisme, dan Pragmatisme. Hedonisme ialah aliran filsafat nilai yang mementingkan nilai kenikmatan. Teori hedonisme menganggap baik buruknya sesuatu ditinjau dari sisi kenikmatan atau kepuasan bagi manusia itu sendiri. Bagi vitalisme, baik buruk ditentukan oleh ada atau tidak adanya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai.  Misal, manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah manusia yang baik, atau manusia yang mengandung daya hidup yang besar itulah manusia yang dianggap baik (Tafsir, 2013). Sementara itu, utilitarianime beranggapan bahwa sesuatu yang baik atau yang benar adalah yang berguna, sebaliknya sesuatu yang tidak berguna berarti tidak baik atau tidak benar. Dan yang terakhir adalah pragmatisme yaitu aliran yang  menganggap bahwa yang baik adalah yang praktis dalam kehidupan. Aliran pragmatisme merupakan segolongan dengan utilitarianisme (Soelaiman, 2019).

IDEOLOGI PENDIDIKAN MATEMATIKA

Ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan dasar yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; cara berpikir seseorang atau suatu golongan; paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Ideologi tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat (Rohman, 2009). Secara terminologi, ideologi diartikan sebagai sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu (O’neill, 2008). Dalam kaitan dengan pendidikan, ideologi pendidikan diartikan sebagai pola gagasan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan dalam pendidikan yang dipandang sebagai sistem nilai (keyakinan) yang mengarahkan dan menggerakkan suatu tindakan sosial. Iklim reformasi yang mengakomodasi kebebasan berpendapat dan berekspresi membuka ruang bagi lahirnya berbagai macam varian ideologi, termasuk di dalam dunia pendidikan (Hidayat, 2017). Ilmu pendidikan tidak lagi sekedar merupakan ilmu (science), tetapi telah menjelma menjadi kekuatan massa yang besar (sebagai filsafat yang diyakini bersama) yang disebut ideologi, yakni ideologi pendidikan. Oleh karena ideologi pendidikan dipandang mampu mengubah perilaku individu dan masyarakat secara sistematis, maka berbagai faktor kepentingan mempengaruhi penetapan pilihan ideologi pendidikan yang dikembangkan di suatu negara demi alasan politik.

1.Ideologi-ideologi Pendidikan Konservatif

Ideologi konservatif memandang bahwa tidak adanya kesederajatan masyarakat merupakan sesuatu yang alami, sesuatu hal yang sangat mustahil untuk kita hindari. Perubahan dalam faham ini merupakan sesuatu hal yang tidak perlu diperjuangkan karena perubahan akan menciptakan sebuah kesengsaraan baru bagi manusia (Aini, 2017). Dalam perkembangannya, Ideologi pendidikan konservatif mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan dan konservatisme pendidikan.

a. Fundamentalisme Pendidikan

Fundamentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap pedoman keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif atau yang diwahyukan. Tujuan Pendidikan menurut kaum fundamentalis adalah untuk membangkitkan dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Tujuan institusional pendidikannya antara lain: untuk membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong agar kembali; dan konsisten ke tujuan-tujuan semula (perilaku tradisional), yakni memberikan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam tatanan sosial (O’neill, 2008). Kaum fundamentalis memandang pendidikan sebagai proses regenerasi moral sehingga manusia dianggap sebagai agen moral. Seluruh umat manusia harus taat terhadap aturan moral yang berlaku. Menurutnya masyarakat yang sempurna adalah masyarakat yang bermoral. Jika Manusia tidak dibimbing dan diberi pengajaran yang baik, maka akan condong ke arah kekeliruan dan kejahatan (Aini, 2017). Dengan demikian, sekolah dalam pandangan fundamentalis harus menekankan karakter yang layak dengan melatih siswa untuk menjadi pribadi yang baik diukur melalui acuan perilaku moral tradisional. Metode pendidikan menurut fundamentalis dengan menampilkan kepatuhan dan ketaatan terhadap guru dan Firman Tuhan. Guru harus menjadi model utama di sekolah, sehingga murid harus meneladani apa yang dilakukan oleh guru baik perilaku maupun tutur kata. Guru lebih aktif daripada peserta didiknya.

b. Intelektualisme Pendidikan

Secara umum intelektualisme pendidikan merupakan ideologi pendidikan yang didasarkan pada pertimbangan, pemikiran atau penalaran secara filosofis bahwa ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal. Ideologi intelektualisme pendidikan dilandasi oleh tiga pemikiran: 1) dunia ini penuh dengan makna di dalamnya; 2) manusia tidak dilahirkan dengan bekal pengetahuan yang gamblang (eksplisit) mengenai kebenaran, maka harus ada kesadaran yang bisa diperoleh melalui pengalaman di dunia; dan 3) adanya pewahyuan yang religious atau intuisi mistis, maka kebenaran itu bisa dicapai dan diperoleh melalui penalaran (O’neill, 2008). Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme pendidikan adalah menganalisa, meneruskan dan melestarikan kebenaran, mengajarkan pada peserta didik bagaimana cara menalar, meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa silam yang bertahan mutlak dilakukan.

c. Konservatisme Pendidikan

Konservatisme memandang pendidikan sebagai sebuah pembelajaran (sosialisasi) nilai-nilai sistem yang sudah mapan, sehingga manusia sebagai objek pendidikan harus dibimbing secara ketat serta harus diarahkan sebelum ia menjadi orang yang berpendidikan (tersosialisasikan secara efektif sebagai warga Negara yang bertanggung jawab) (Aini, 2017). Konsep kurikulum konservatif cenderung memusatkan perhatiannya kepada disiplin ilmu yang lebih praktis dan lebih baru seperti sejarah, biologi, fisika, yang dianggap sebagai bidang-bidang yang secara langsung relevan dengan berbagai problema masyarakat kontemporer yang paling mendesak dan harus segera diselesaikan. Materi pembelajaran lebih dipusatkan untuk mengajarkan peserta didik menjadi warga negara yang baik, mengajarkan juga budaya yang konvensional, pembentukan watak dan karakter, ilmu alam, ilmu kesehatan, sejarah, dan keterampilan dasar (O’neill, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa konservatisme pendidikan lebih menekankan pada kesamaan-kesamaan yang ada pada peserta didik bukan perbedaan-perbedaannya, sehingga guru dapat dengan mudah mendidik mereka dan mengkondisikan mereka di kelas. Namun guru harus menekankan bahwa keberhasilan ditentukan oleh prestasi mereka, sehingga mereka harus berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik.

2. Ideologi-ideologi Pendidikan Liberal

Ideologi pendidikan liberal berakar dari pandangan liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inkrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan liberal berakar pada cita-cita individualisme Barat yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Secara umum gambaran visi dan strategi ideologi liberal dalam pendidikan dapat dikaji dari tiga penggolongan ideologi liberal, yaitu: liberalisme pendidikan, liberasionisme pendidikan dan anarkisme pendidikan

a. Liberalisme Pendidikan

Ideologi pendidikan liberalisme merupakan ideologi pendidikan yang berorientasi bagaimana cara peserta didik menyelesaikan masalah tentang kehidupannya sendiri secara efektif. Ketika merujuk konsep utama tentang liberalisme pendidikan, maka tujuan yang diharapkan adalah integrasi antara teori dan praktik. Tidak hanya teori saja yang selalu diajarkan dalam lembaga pendidikan namun juga tentang praktiknya (Khoeroni, 2017). Menurut penganut liberalisme, individu adalah pribadi yang unik dan penuh dengan potensi yang harus dikembangkan, begitulah konsep manusia dalam liberalisme pendidikan. Manusia secara mutlak memiliki kehendak yang bebas untuk mengatur dan mengarahkan dirinya (O’neill, 2008). Setiap manusia memiliki kebebasan sesuai dengan hasrat dan pikirannya dalam memilih dan memahami dunia. Pengalaman yang didapatkan bisa dipahami sesuai keinginannya. Begitu pula dengan kurikulum pendidikan liberal yang dibebaskan sesuai dengan kehendak sekolah dan peserta didik. Jadi, Untuk mencapai tingkat intelektual yang tinggi, penganut liberalisme pendidikan tidak harus mendapatkan pelajaran dari sekolah, karena pengetahuan bisa didapatkan dari pengalaman ataupun mencari sendiri (Aini, 2017).

b. Liberasionisme Pendidikan

Dalam pandangan kaum liberasionis, sasaran utama pendidikan adalah penanaman pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan (humanistik), yang menekankan sepenuhnya pada potensi khas setiap orang sebagai manusia (O’neill, 2008). Adapun konsep kurikulum pendidikan dalam liberasionisme adalah sebagai berikut: a) sekolah harus menekankan pada pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis; b) sekolah memusatkan pada pemahaman diri terhadap potensi peserta didik; c) mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam hal pelajaran yang wajib; d) penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis; e) sekolah harus menekankan pada problema sosial yang kontroversial (Aini, 2017). Sedangkan metode yang sering digunakan oleh penganut liberasionisme pendidikan adalah metode hafalan untuk mengasah intelektual siswa dan metode kedisiplinan. Dilihat dari metode yang digunakan, maka Ideologi ini menganggap bahwa manusia harus mengusahakan pembaruan/perombakan pendidikan dalam ruang lingkup besar, sebagai jalan menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan perwujudan potensi-potensi personal sepenuhnya (O’neill, 2008).

c. Anarkisme Pendidikan

Anarkisme pendidikan hampir sama dengan liberalisme dan liberasionisme pendidikan, yaitu ideologi yang menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka dengan prinsip penalaran ilmiah melalui pembuktian (scientific reason with verification. Anarkisme pendidikan lebih menekankan pada penghapusan hambatan-hambatan kelembagaan terhadap tindakan personal, sehingga masyarakat bisa bebas dari lembaga (deinstitusionalisasi masyarakat). Sistem pendidikan yang baik menurut anarkisme pendidikan adalah sistem pendidikan dengan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem persekolahan (O’neill, 2008). Anarkisme pendidikan memiliki tujuan untuk menghapus sistem pendidikan formal yang ada sekarang secara keseluruhan dan menggantikannya dengan pola belajar yang ditentukan sendiri oleh perorangan secara sukarela. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan sehingga tidak menonjolkan adanya sistem persekolahan wajib (Aini, 2017).

Metode yang digunakan oleh penganut anarkisme pendidikan cenderung pada pelatihan. Dalam hal ini para peserta didik, bebas memilih metode-metode apa saja yang akan digunakan dalam proses pembelajaran asalkan dapat menjadi perantara untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode tradisional guru dalam mengajar harus dihapuskan. Adapun metode menghafal dan nilai disiplin semuanya dibebankan kepada para peserta didik itu sendiri. Pandangan guru sebagai pengajar haruslah dihapus, karena guru hanyalah sebagai seorang teman belajar dan fasilitator saja. Metode bimbingan dan penyuluhan serta terapi kejiwaan masih tetap digunakan untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar dan tidak bisa menggali potensinya, serta untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya (O’neill, 2008).

Mengadaptasi dari The philosophy of mathematics education karya Paul Ernest, terdapat tabel ideologi yang digunakan dalam pendidikan matematika (Ernest, 1991).

1.Ideologi Pendidikan Industrial Trainer

Ideologi industrial trainer menegaskan bahwa matematika adalah ilmu yang bersifat tetap dan netral. Ilmu matematika memiliki batasan yang tegas dengan ilmu lainnya dan terus dijaga agar tidak bersinggungan dengan nilai lainnya seperti nilai-nilai sosial. Dalam ilmu matematika, nilai-nilai sosial tidak memiliki tempat karena dianggap dapat mengganggu objektivitas ilmu matematika dan berpotensi merusak kenetralan. Tujuan dari pendidikan matematika ialah mengharapkan peserta didik mampu menghitung dan memahami nilai kepatuhan. Peserta didik datang ke sekolah agar mereka bisa membaca, berhitung, dan sedikit memahami pengetahuan ilmiah. Peserta didik tidak boleh mengetahui hal yang berkaitan di luar ideologi dan tidak diwajibkan memiliki keterampilan lain selain yang sudah ditentukan.

Konsep belajar dalam ideologi industrial trainer  adalah suatu kegiatan yang bersifat individual dan membutuhkan usaha sendiri selama proses belajar. Pembelajaran diibaratkan sebagai proses “bekerja” layaknya tenaga kerja yang bekerja keras setiap harinya. Belajar harus membuat peserta didik mengerti makna tentang “usaha” dalam proses belajarnya. Peserta didik juga tidak diperkenankan untuk menghubungkan materi pelajaran dengan minatnya. Semua yang dipelajari adalah tentang kerja keras, berlatih, dan aplikasi sehingga sebaik-baik motivasinya adalah “kompetisi”.

Belajar harus dilakukan melalui kegiatan yang berbasis kertas dan pensil sehingga tidak mencoba untuk menerapkan cara lain seperti games, puzzles, atau informasi televisi. Selain itu, guru melarang siswanya menggunakan kalkulator karena guru menganggap ini sebuah resiko jika siswa hanya menggunakan kalkulator saja. Pendidikan membatasi siswa untuk mengembangkan keterampilan komputasi. Kegiatan diskusi dan kerjasama tidak diperbolehkan karena dapat mengarah kepada aksi saling berbagi jawaban tanpa harus bekerja keras. Sekolah hanya dianggap sebagai  tempat belajar bukan lingkungan sosial”. Oleh karena itu, ideologi ini tidak menyadari adanya keberagaman sosial kecuali keberagaman kemampuan matematika yang dimiliki siswa.

Guru matematika bersikap otoriter dengan menegaskan norma disiplin yang ketat dan pengetahuan yang diajarkan berpusat pada fakta-fakta. Mengajar adalah kegiatan untuk menyampaikan ilmu matematika dan guru memberikan penekanan nilai-nilai kerja keras, usaha, dan disiplin yang ketat. Proses belajar adalah kegiatan yang menegangkan dan tidak berusaha untuk mencairkan suasana menjadi informal agar lebih berhasil. Guru yang menganut ideologi ini menganggap bahwa terdapat hirarki masyarakat yang mengharuskan mereka mengendalikan kedudukannya dan melihat orang di bawahnya. Tes bersifat untuk memeriksa penguasaan kemampuan matematis peserta didik dan memastikan bahwa tugas formal sekolah sudah tercapai. Akibatnya, peserta didik yang salah dalam ujian dianggap gagal atau bahkan sebagai kelalaian secara moral.

2. Ideologi Pendidikan Technological Pragmatism

Pembelajaran matematika harus dilaksanakan melalui pengalaman praktis peserta didik. Pengalaman membawa pengaruh penting terhadap kemampuan peserta didik untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan matematis. Tujuan mengajar matematika disesuaikan dengan kebutuhan, agar peserta didik bisa diterima dunia pekerjaan. Tujuan ini memiliki tiga komponen pendukung yaitu (1) untuk memberikan pengetahuan matematika dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja, (2) untuk mensertifikasi pencapaian kompetensi peserta diidk untuk mendukung ketika rekruitmen dan (3) untuk melatih teknologi yang lebih canggih seperti pada keterampilan teknologi informasi dan komputer.

Sekolah dapat ditinjau dengan dua sisi. Pertama, sekolah adalah tentang keterampilan murni, prosedur, fakta, dan pengetahuan matematika yang merupakan kompetensi dasar mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Kedua, matematika yang dipelajari harus memiliki penerapan/aplikasi. Aspek penerapan dangat penting untuk menghidupkan matematika sehingga meningkatkan motivasi siswa belajar matematika. Selain aplikasi tersebut, nilai-nilai seperti kreativitas tidak menjadi fokus dalam ideologi ini.

Proses belajar matematika membutuhkan seorang guru yang dapat merealisasikan penerapan matematika dalam pandangan technological pragmatism. Meskipun peserta didik memiliki bakat khusus dalam berbagai topik lainnya, guru tetap bisa membedakan antara siswa yang tidak berminat dan siswa yang menikmati proses pembelajarannya. Seorang guru yang memiliki kemampuan seperti itu terlahir karena bakatnya dan pelatihan kompetensi guru tidak berdampak secara signifikan.

Guru perlu memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk mengilustrasikan dan merealisasikan pembelajaran matematika. Pembelajaran disajikan secara praktis sehingga peserta didik harus diberikan akses terhadap sumber-sumber belajar untuk memperoleh pengalaman. Keterampilan IT sangat dibutuhkan agar peserta didik terbiasa mengoperasikan komputer, berinteraksi terhadap media lainnya seperti video. Guru harus memiliki keterampilan mengajar dan memberikan motivasi kepada peserta didik. Dalam pendidikan menengah, guru sudah harus menekankan pendekatan pada peserta didik terkait pemecahan masalah.

Proses penilaian pembelajaran dimaknai sebagai bentuk sertifikasi eksternal yang membuktikan penguasaan keterampilan matematis peserta didik. Akan tetapi, dalam dunia pelatihan tenaga kerja, nyatanya skill saja belum mampu untuk memastikan peserta didik kompeten dalam beradaptasi di masa depan dengan teknologi yang lebih canggih. Untuk mensiasati hal tersebut, peserta didik perlu dipersiapkan bekal beberapa skill lainnya yang akan dibutuhkan di masa depan. Keterampilan-keterampilan ini diistilahkan sebagai keterampilan umum (generic skill), termasuk diantaranya seperti numerasi, grafis, literasi, komunikasi, keterampilan praktis, pemecahan masalah, membuat keputusan, dan tanggung jawab.

Tinjauan aspek keragaman sosial dalam ideologi ini dilihat sebagai hal yang tidak penting jika tidak berhubungan untuk sukses dalam dunia kerja. Matematika masih dianggap sebagai ilmu yang netral dan harus diterapkan dalam dunia industri dan teknologi, bukan pada budaya. Tingkatan keterampilan bekerja menjadi fokus utama yang membuktika peserta didik telah menguasai teknologi yang mutakhir dan lebih canggih. Oleh karena itu, selanjutnya dibutuhkan sebagai keterampilan standar yang harus dicapai agar bisa diakui di dalam dunia industri.

3. Ideologi Pendidikan Old Humanism

Tujuan pendidikan matematika dalam ideologi old humanism adalah untuk menyampaikan pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai moral (values). Matematika murni yang diajarkan menekankan pada struktur konseptual mata pelajaran matematika. Tujuan memahami matematika ada pada nilai intrinsiknya, yaitu sebagai bagian penting dari warisan manusia sebelumnya, budaya, dan pencapaian prestasi. Hal ini membuat peserta didik menghargai dimensi estetika dan keindahan dari matemarika murni ketika mendalaminya dalam pembelajaran.

Kemampuan matematika dianggap sebagai bakat yang diwariskan sehingga erat kaitannya dengan inteligensi individu. Kemampuan matematis ini tersusun secara hirarkis, yaitu peserta didik dengan kemampuan tingi berada di atas peserta didik lain yang berkemampuan rendah. Pengajaran semata-mata membantu siswa untuk merealisasikan potensi bakat yang dimilikinya. Pendidikan matematika hanya cocok bagi seseorang yang memiliki bakat kemampuan matematika untuk dapat menunjukkan bakat matematikanya.

Belajar matematika dilakukan dengan proses menerima dan memahami ilmunya saja yang sangat terstruktur. Peserta didik mampu menginternalisasi struktur konsep matematika secara hirarkis dan proposisi yang terhubung secara logika. Sumber dan bahan ajar belajar masih dibatasi pada buku teks dan media tradisional karena dianggap memiliki struktur yang tepat dan terarah. Kalkulator elektronik atau komputer hanya boleh digunakan untuk peserta didik jenjang tinggi yang telah menguasai konsep dasar matematika. Media dan sumber lainnya bisa digunakan untuk memberikan motivasi atau memfasilitasi pemahaman peserta didik. Akan tetapi porsinya lebih kecil karena media dan sumber seperti ini hanya dianggap membuat peserta didik berkemampuan rendah karena tidak memahami matematika “murni”.

Guru berpernan untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan struktur ilmu matematika secara bermakna. Guru harus dapat menginspirasi peserta didik melalui metode pembelajaran yang menarik agar memperkaya pembelajaran matematika dengan memanfaatkan soal-soal dan aktivitas tambahan serta mengadaptasi pendekatan buku teks yang terstruktur.

4. Ideologi Pendidikan Progressive Educator

Ideologi ini menginginkan bahwa pendidikan matematika memberi kontribusi pada seluruh perkembangan peradaban manusia, mengembangkan kreativitas peserta didik melalui pengalaman pembelajaran matematika. Hal ini dilakukan dengan dua hal, pertama perkembangan peserta didik sebagai sosok pembelajar mandiri dalam kelas matematika. Kedua, mendorong peserta didik untuk memiliki rasa percaya diri, bersikap positif, dan harga diri terhadap matematika sehingga hal tersebut dapat mencegah mereka memiliki pengalaman negatif yang bisa merusak sikapnya terhadap matematika.

Belajar matematika mempengaruhi peserta didik untuk aktif menjawab lingkungan pembelajaran, mandiri mengembangkan diri, mengeksplorasi hubungan dan mampu menciptakan produk dari hasil belajar matematika. Pembelajaran melibatkan proses penyelidikan, penemuan, bermain, berdiskusi, dan kegiatan kelompok. Cara seperti ini bukan hanya membuat pembelajaran lebih kaya dan menantang, namun juga tetap menanamkan nilai aman, percaya diri, sikap positif, dan perasaan yang nyaman kepada peserta didik. Dengan demikian pembelajaran matematika akan lebih interaktif, berpusat pada peserta didik, mereka dapat bermain, beraktivitas, membuat proyek, diskusi, eksplorasi, dan menemukan. Kunci dalam ideologi ini adalah peserta didik diberi tempat untuk mengekspresikan dirinya sendiri dalam mempelajari matematika.

Pembelajaran matematika dilakukan melalui aktifitas dorongan semangat, fasilitasi, dan penyusunan lingkungan belajar yang terstruktur untuk mendukung kegiatan eksplorasi. Idealnya pembelajaran matematika menggunakan kurikulum yang disusun oleh sekolah dan guru dengan menawarkan kegiatan “pertunjukan” matematika yang berbeda di sekitar kelas dan menggunakan proyek-proyek multi-disiplin. Peran guru adalah sebagai pengelola lingkungan pembelajaran dan sumber-sumber belajar, tanpa petunjuk yang mengganggu dan mengancam munculnya sikap negatif yang diperoleh peserta didik di dalam kelas. Sumber belajar dapat berupa aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan selama proses pembelajaran. Suasana kelas harus dibuat dalam lingkungan yang kaya dengan peralatan yang terstruktur dan perlengkapan lain yang mendukung untuk memfalisitasi pemahaman konsep matematika. Sumber belajar dapat digunakan untuk menciptakan, mengekspresikan, dan membuat karya dengan menghubungkan matematika berdasarkan pengalaman peserta didik mandiri. Selain itu, peserta didik berhak menentukan apakah dirinya akan memanfaatkan sumber tersebut atau tidak.

Proses pengukuran dan penilaian dilakukan berdasarkan kriteria informal yang ditentukan guru dan kriteria tersebut hendaknya mencegah pernyataan “peserta didik yang gagal” setelah mengikuti ujian karena menjawab soal secara “salah”. Penilaian yang dilakukan tidak dilaksanakan untuk menakuti peserta didik yang dapat menghambat perkembangan mereka Jawaban “yang salah” diformulasikan dengan cara lain aagr tidak menyakiti hati peserta didik.

5. Ideologi Pendidikan Public Educator

Ideologi public educator menekankan pengembangan masyarakat demokratis melalui pendekatan berpikir kritis dalam proses pembelajaran matematika. Peserta didik didorong untuk menjadi pemecah masalah yang tangguh dengan menggunakan kemampuan matematis untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Tujuan ini menjadikan peserta didik belajar matematika di sekolah dan tetap peduli dengan lingkungan sosial.

Pembelajaran matematika melibatkan aktif peserta didik dalam konteks sosial dan politik. Tujuan ini berakar dari keinginan untuk melihat bahwa pendidikan matematika bisa berkontribusi pada kepentingan dan keadilan sosial di dalam masyarakat. Pembelajaran matematika harus merefleksikan hakikat ilmu matematika dalam konstruksi sosial yaitu tentatif atau berubah-ubah. Pembelajaran matematika tidak harus dilihat sebagai pengetahuan yang diperoleh dari luar dimana siswa tidak mengalaminya, tetapi matematika sebenarnya telah terlibat dalam setiap kebudayaan dan kenyataan siswa. Dengan cara ini, pembelajaran matematika dapat memberikan pandangan dan juga cara berpikir. Matematika memberikan pemahaman dan kekuatan tentang struktur abstrak dari pengetahuan dan budaya serta institusi sosial dan realitas politik.

Ideologi ini memandang peserta didik sebagai seseorang yang butuh untuk terlibat dalam pembelajaran matematika, termasuk dalam kegiatan pemecahan masalah, diskusi matematika dalam pengalamannya, serta lingkungannya (ethnomathematics). Konsep dan asumsi pembelajaran harus disampaikan, dan dihadapkan dengan cara pandang lain untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Hal ini diperlukan untuk memunculkan ide-ide dalam konsep yang baru.

Kemampuan matematika dipandang lebih luas sebagai suatu konstruksi sosial dimana konteks sosial berperan penting dalam pengembangan diri individu dan secara khusus dimanifestasikan sebagai “kemampuan”. Peserta didik, dalam perspektif ini, memiliki karakteristik yang “setara” layaknya kemampuan yang baru lagi. “Kemampuan” ini disematkan kepada peserta didik sesuai dengan pengalamannya dan sesuai dengan apa yang mereka terima dan di”label”kan oleh orang lain.

Sumber dan materi pembelajaran digunakan berdasarkan pandangan bahwa proses berpikir harus aktif, bervariasi, sosial, dan mandiri. Oleh karena itu, ada tiga komponen utama sumber belajar dalam ideologi ini, antara lain: a) pemberian berbagai macam sumber-sumber praktis untuk memfasilitasi pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan aktif; b) pemberian materi yang otentik, seperti koran, infografis statistik, dan lain-lain yang berhubungan dengan konteks sosial; c) pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengakses sumber belajar secara mandiri.

Proses penilaian dilakukan untuk mencari ukuran kompetensi yang bernilai sebagai prestasi positif setiap peserta didik tanpa menyematkan label berdasarkan kemampuan atau menetapkan hirarki kemampuan matematika mereka. Maksud dari penilaian kompetensi yang “adil” tanpa memperhatikan gender, ras, kelas, atau variabel sosial yang lain adalah untuk menghindari adanya kompetisi dalam pembelajaran. Berbagai macam bentuk penilaian dapat digunakan termasuk tugas-tugas dan rekaman pencapaian, perpanjangan proyek dan ujian. Penilaian tugas dan nilai akhir harus bersifat terbuka kepada siswa untuk didiskusikan.

PARADIGMA PENDIDIKAN MATEMATIKA

Paradigma merupakan wacana atau diskursus yang disepakati dalam mendiskusikan sesuatu untuk membangun konsep keilmuan tertentu (Muhadjir, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa paradigma diartikan sebagai cara memandang sesuatu (Widyawati, 2013). Paradigma pendidikan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan menuntut adanya perubahan pada tujuan pendidikan yang akan dicapai. Pendidikan yang hanya berfokus pada aspek intelektual dirasa masih kurang memenuhi tuntutan zaman. Aspek moralitas yang mencerminkan karakter dan kearifan masyarakat Indonesia perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai salah satu fokus pendidikan sehingga menjadi salah satu tujuan pendidikan Indonesia. Pada zaman yang semakin modern senantiasa mempengaruhi pola pikir manusia untuk selalu berperan aktif mengikuti perkembangan tersebut agar mampu bertahan dan mengembangkan pola kehidupan.

Paradigma pendidikan pertama di tanah air adalah sekolah rakyat. Paradigma ini lahir sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 M yang dimotori oleh dr. Soetomo, dr. Wahidin Soedirohoesudo, dkk. Pada masa itu, ideologi pendidikan diarahkan pada pengobaran semangat kebangsaan. Sekolah rakyat ini diartikan oleh rakyat secara Swadaya. Substansinya adalah merupakan sebuah institusi sosial. Walaupun sangat sederhana dan berhadapan dengan tekanan dan propaganda colonial, pendidikan saat itu membuahkan hasil yang signifikan, dan mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, dengan berbagai modifikasi, sekolah rakyat menjadi paradigma pendidikan nasional sampai pada masa Orde Baru. Pada awal pemerintah Orde Baru, paradigma pendidikan ini telah mengalami krisis (Zainuri, 2016).

Solusi baru yang mempunyai tujuan ganda adalah memasukkan nilai kritisisme yang pantangan dari kebiasaan rutin dalam dunia dunia, khususnya bidang matematika. Pemilihan ini bukan hal yang mudah dilakukan, mengingat budaya patron-klien masih tetap dirapatkan fungsinya. Konservatisme maupun liberalisme merupakan modal, dalam artian selama ini keberadaannya belum menyentuh arah dan konsepsi lanjut mengenai eksistensi Pendidikan matematika. Sedangkan pengakuan atas ideologi dari salah satunya juga merupakan proyek spekulatif yang mendorong timbulnya ketegangan baru yang mungkin diperparah oleh konflik dalam rumusan pendidikan selanjutnya (Wisarja & Sudarsana, 2017).

Abad 21 merupakan peradaban yang mengarah pada globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, sehingga terkonstruksinya transisi adab tradisional menjadi modernitas. Transisi ini berdampak pada berubahnya berbagai aspek kehidupan termasuk Pendidikan matematika. Pendidikan matematika abad 21 mengharuskan manusia melek terhadap kemajuan teknologi informasi guna meningkatkan kualitas taraf hidup (Putra et al., 2021). Model pendidikan matematika yang sesuai dengan kebutuhan abad ke‐21 tersebut hanya akan dapat terwujud jika terjadinya pergeseran pola pikir dan pola tindak dalam berbagai konteks penyelenggaraan proses pendidikan dan pengajaran. Berikut ini adalah sejumlah pergeseran paradigma yang diyakini perlu dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan kualitas dan relevansi Pendidikan matematika memasuki dunia modern tersebut, yang hanya bisa terjadi jika teknologi informasi dan komunikasi dipergunakan secara optimum

  1. dari teacher‐centered bergeser menuju student‐centered learning.
  2. dari one‐way bergeser menuju interactive teaching
  3. dari isolated bergeser menuju networked environment
  4. dari passive bergeser menuju active inquiry‐based learning
  5. dari artificial bergeser menuju real‐world context
  6. dari personal bergeser menuju team‐based learning
  7. dari broad bergeser menuju selected provision for optimazing relevance
  8. dari single‐sense stimulation bergeser menuju multisensory stimulation
  9. dari single bergeser menuju multimedia tools
  10. dari adversarial bergeser menuju cooperative relationships
  11. dari mass bergeser menuju customised content production
  12. dari conformity/compliance bergeser menuju diversity initiative

Paradigma dan visi Pendidikan matematika yang cocok bagi tantangan zaman sekarang ini yaitu seperti yang pernah dibahas oleh UNESCO dalam World Education Forum dalam mempersiapkan pendidikan manusia abad ke-21 yang mengemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu (1) learning to think (2) learning to do (3) learning to live together, learning to live with others, dan (4) learning to be (Hasnah, 2012) .

Learning to think (belajar berpikir). Ini berarti Pendidikan matematika berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga peserta didik berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi. Proses belajar matematika yang terus menerus terjadi seumur hidup adalah belajar bagaimana berpikir. Dengan sendirinya belajar yang hanya “membeo” tidak mempunyai tempat lagi di dalam era globalisasi.

Learning to do (belajar berbuat/hidup). Pada abad ke-21 menuntut manusia-manusia yang bukan hanya berpikir tetapi manusia yang berbuat. Manusia yang berbuat adalah manusia yang ingin memperbaiki kualitas kehidupannya. Dengan berbuat dia dapat menciptakan produk produk baru dan meningkatkan mutu produk-produk tersebut. Tanpa berbuat pemikiran atau konsep tidak mempunyai arti. Aspek yang ingin dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seseorang peserta didik menyelesaikan problem keseharian yang membutuhkan kemampuan matematis. Dengan kata lain Pendidikan matematika diarahkan pada how to solve the problem.

Learning to live together (belajar hidup bersama). Disini Pendidikan matematika diarahkan pada pembentukan karakter peserta didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik, agama dan budaya. Di sinilah pendidikan akan nilai-nilai perdamaian, penghormatan HAM, pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama yang mesti menginternal dalam kesadaran peserta didik.

Learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Pendidikan ini menjadi sangat penting mengingat masyarakat modern saat ini tengah dilanda suatu krisis kepribadian. Orang sekarang biasanya lebih melihat diri sebagai what you have, what you wear, what you eat, what you drive, dan lain-lain. Karena itu Pendidikan matematika hendaknya diorientasikan pada bagaimana seorang peserta didik di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having (materi-materi dan jabatan-jabatan politis).

Paradigma Pendidikan matematika tersebut di atas bila disimpulkan akan diperoleh kata kunci berupa “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Sehingga Pendidikan matematika tidak hanya berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja, melainkan juga berorientasi pada bagaimana seorang peserta didik bisa belajar dari lingkungan, dari pengalaman dan kehebatan orang lain, dari kekayaan dan luasnya hamparan alam, sehingga mereka bisa mengembangkan sikap kreatif dan daya berpikir imajinatif.

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang digunakan guru sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Isi model pembelajaran memuat prosedur yang sistematis dan terencana dalam mengorganisasikan proses pembelajaran peserta didik sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara maksimal (Priansa, 2017). Dengan kata lain, model pembelajaran digunakan sebagai pedoman dasar guru terutama dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.

Dalam pembelajaran, guru diharapkan mampu memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Pemilihan model pembelajaran meliputi suatu pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Model-model pembelajaran dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Sebagai contoh pengklasifikasian, berdasarkan tujuan adalah pembelajaran langsung, suatu model pembelajaran yang baik untuk membantu peserta didik mempelajari keterampilan dasar atau untuk topik yang banyak berkaitan dengan penggunaan alat. Akan tetapi, ini tidak sesuai bila digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep matematika tingkat tinggi. Pada saat ini, banyak dikembangkan model pembelajaran. Menurut penemunya, model pembelajaran temuannya tersebut dipandang paling tepat di antara model pembelajaran yang lain. Termasuk juga model pembelajaran matematika yang dapat diterapkan oleh guru sangat beragam. Model pembelajaran yang dimaksud berupa suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.

1.Model Pembelajaran Inquiry

a. Hakikat Pembelajaran Inquiry

Inquiry berasal dari kata “to inquire” yang berarti ikut serta terlibat dalam mengajukan pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Model pembelajaran inquiry bertujuan untuk memberikan cara bagi peserta didik untuk membangun kecakapan intelektual yang terkait dengan proses berpikri reflektif (Fathurrohman, 2017). Model pembelajaran inquiry meliputi serangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri, biasanya dilakukan melalui sesi tanya jawab antara guru dan peserta didik.

  1. Model inquiry menekankan pada aktivitas peserta didik secara maksimal untuk menemukan dan mencari. Artinya, model inquiry menempatka peserta didik sebagai subjek belajar. Peserta didik, tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi itu.
  2. Seluruh aktivitas yang dilakukan peserta didik dialihkan untuk mencari dan menemukan jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan sehingga diharapkan dapat menimbulkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, guru berperan sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pengajaran.
  3. Tujuan dari model pembelajaran inquiry adalah mengembangkan kemampuan nerpikir secara sistematis, logis, kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental (Hamdayama, 2017).

b. Prinsip-prinsip Model Inquiry

Model pembelajaran inquiry merupakan model yang menekankan pada pengembangan intelektual peserta didik. Berdasarkan penggunaan model pembelajaran inquiry, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan guru.

  1. Berorientasi pada pengembangan intelektual. Tujuan utama model inquiry adalah pengembangan kemampuan berpikir. Selain berorientasi pada hasil belajar, juga berorientasi pada proses belajar. Kriteria keberhasilan dari proses pembelajaran dengan menggunakan inquiry bukan ditinjau dari sejauhmana peserta didik dapat menguasi materi, namun sejauhmana mereka beraktivitas mencari dan menemukan sesuatu.
  2. Prinsip interaksi. Guru perlul mengarahkan (directing) agar peserta didik bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi mereka. Kemampuan guru untuk mengatur interaksi memang bukan pekerjaan yang mudah.
  3. Prinsip bertanya. Peran guru berikutnya adalah sebagai penanya. Artinya, kemampuan peserta didik untuk menjawab setiap pertanyaan sudah merupakan bagian dari proses berpikir. Oleh sebab itu, kemampuan guru untuk bertanya dalam model inquiry sangat diperlukan.
  4. Prinsip belajar untuk berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, melainkan proses berfikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak.
  5. Prinsip keterbukaan. Peserta didik pelru diberikan kebebasan untuk mencoba sesuai dengan kemampuan perkembangan logika dan nalarnya. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya (Al-Tabany, 2014).

2. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning, PBL)

a. Konsep Dasar PBL

Model PBL dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Model PBL ini tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi banyak kepada peserta didik. Metode ini dirancang untuk membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan, intelektual, belajar berperan sebagai orang dewasa melalui pelibatan aktif dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi self-regulatedlearner. Tiga ciri utama PBL adalah:

  1. Model PBL tidak mengharapkan peserta didik hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran. Tetapi melaui PBL peserta didika aktif, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.
  2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. PBL menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Tanpa masalah, tidak mungkin ada proses pembelajaran.
  3. Pemecahan masalah dilakukan dengan metode ilmiah, sistematis, empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan dengan mengikuti tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris, artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas (Hamdayama, 2017).

b. Tahapan PBL

Banyak ahli yang menjelaskan bentuk penerapan PBL. Setidaknya ada 6 langkah PBL yang bisa diikuti sebagai berikut:

  1. Merumuskan masalah, yaitu langkah peserta didik menentukan masalah yang akan dipecahkan
  2. Menganalisis masalah, yaitu langkah peserta didik meninjau masalah dari berbagai sudut pandang.
  3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah peserta didik merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
  4. Mengumpulkan data, yaitu langkah peserta didik mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
  5. Menguji hipotesis, yaitu langkah peserta didik mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
  6. Merumuskan rekomendasi, yaitu langkah peserta didik menggambarkan rekomendasi yang dilakukan sesuai rumusan hasil pengajuan hipotesis dan rumusan kesimpulan (Hamdayama, 2017).

Berikut ini sintaks model PBL (Hamdayama, 2017)

FasePeran Guru
Orientasi masalah pada peserta didikGuru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan segala hal yang akan dibutuhka, memotivasi peserta didik terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Mengorganisasi peserta didik untuk belajarGuru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompokGuru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dari pemecahan masalah
Mengembangkan dan menyajikan hasil karyaGuru membantu peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, melaksanakan eksperimen atau pengamatan untuk mendapatkan penjelasan dari pemecahan masalah
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalahGuru membantu peserta didik melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

3. Model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning, PjBL)

a. Konsep Dasar PjBL

Model pembelajaran PjBL secara bahasa diartikan sebagai model yang menekankan pada pengadaan proyek atau kegiatan penelitian kecil dalam pembelajaran. Pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning didefinisikan sebagai “the instructional strategy of empowering learners to pursue content knowledge on their own and demonstrate their new understanding through a variety of presentation modes”. Definisi yang lebih lengkap terhadap pembelajaran berbasis proyek dapat ditemukan dalam pendapat Barell, Baron dan Grant yang memberikan pengertian Project Based Learning sebagai “using authentic, real world project, based on highly motivation and engaging question, taks, or problem to teach student academic content ini the context of working cooperatively to solve the problem” (Fathurrohman, 2017).

Peserta didik terlibat aktif mengelola pembelajarannya dengan bekerja secara nyata yang menghasilkan produk riil.  Jadi hasil akhir dari proses pembelajaran berbasis proyek adalah produk yang bisa dimanfaatkan dan bermakna. Proyek yang dikerjakan oleh peserta didik dapat berupa proyek individu ataupun kelompok, dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu secara kolaboratif, hingga menghasilkan sebuah produk yang kemudian ditampilkan dan dipresentasikan. Pembelajaran berbasis proyek memberi kesempatan peserta didik berpikir kritis dan mampu mengembangkan kreativitasnya melalui pengembangan inisiatif untuk menghasilkan produk nyata berupa barang atau jasa.

b. Langkah-langkah Project Based Learning

Pembelajaran berbasis proyek sebagai salah satu wahana yang memaksimalkan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar dan kinerja ilmiah peserta didik dan membantu para peserta didik untuk mengembangkan keterampilan belajar jangka panjang (Fathurrohman, 2017). Para peserta didik perlu mengetahui bahwa mereka adalah mitra lingkungan yang juga bertanggung jawab dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis proyek juga dapat meningkatkan keyakinan diri peserta didik, mampu memotivasi untuk belajar sama kemampuan kreatif, dan mengagumi diri sendiri.  Pembelajaran berbasis proyek merupakan integrasi dari pembelajaran berbasis sains dan teknologi.  Dalam PjBL, peserta didik diberikan tugas dengan mengembangkan tema/topik dalam pembelajaran dengan melakukan kegiatan proyek yang realistik. Dengan kata lain pembelajaran berbasis proyek dapat mendorong tumbuhnya kreativitas, kemandirian, tanggung jawab, kepercayaan diri serta berpikir kritis dan analitis pada peserta didik. 

Secara umum, langkah-langkah Project Based Learning adalah sebagai berikut (Fathurrohman, 2017)

c. Manfaat Project Based Learning

Pembelajaran berbasis proyek memiliki beberapa manfaat yang penting bagi peserta didik. Pertama, pembelajaran berasis proyek merangsang keaktifan peserta didik dengan mendorong peserta didik untuk terlibat aktif dalam seluruh proses pembelajaran. Hal ini juga tidak terlepeas dari upaya dorongan guru kepada peserta didik. Kedua, pembelajaran berbasis proyek mendorong pembelajaran yang interaktif. Bukan hanya sebatas menuntut peserta didik untuk terlibat, namun keterlibatannya harus secara interaktif, baik individu maupun kelompok. Ketiga, berfokus pada peserta didik. Prinip pembelajaran berbasis proyek memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik agar dapat berkembang lebih optimal. Keempat, peran guru menjadi fasilitator. Tugas utama guru adalah menjadi fasilitator dengan mendorong peserta didik untuk aktif dan memotivasi agar mampu belajar lebih mandiri. Kelima, pembelajaran berbasis proyek menekankan pentingnya berpikir kritis peserta didik. Hal ini dilakukan agar makna sesungguhnya dari seluruh proses pembelajaran dan materi yang diajarkan dapat diserap dan dipahami dengan baik oleh peserta didik. Keenam, menjadikan pengetahuan lebih mendalam. Ini merupakan penghujung dari pembelajaran berbasis proyek agar peserta didik semakin menguatkan pemahaman sebagai hasil dari keterlibatannya secara aktif dan interaktif selama pembelajaran (Priansa, 2017).

4. Model Pembelajaran Science Technology Engineering Arts and Mathematic (STEAM)

Pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) merupakan sebuah integrasi dari berbagai disiplin ilmu yaitu sains, teknologi, teknik, seni dan matematika yang berada dalam satu kesatuan pendekatan pembelajaran menjadi sebuah pendekatan terpadu yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor peserta didik dalam menghadapai kemajuan teknologi (Huda, 2015).

STEAM merupakan pendekatan pembelajaran yang menjadi sarana bagi peserta didik untuk menciptakan ide/gagasan berbasis sains dan teknologi, melalui kegiatan berpikir dan bereksplorasi dalam memecahkan masalah berdasarkan pada lima disiplin ilmu yang terintegrasi. Penerapan lima disiplin ilmu secara terintegrasi diharapkan dapat membangu peserta didik memecahkan masalah dengan menghadirkan solusi terbaik dan tepat. Kemampuan berpikir dan kreativitas peserta didik menjadi dua aspek penting yang harus dimiliki dalam menghadapi era globalisasi yang sudah di depan mata. Oleh karena itu, dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi sekaligus mengembangkan kreativitas, implementasi STEAM dalam pembelajaran menjadi hal yang penting, khususnya dalam pembelajaran matematika di sekolah.

Kemendikbud telah menekankan bahwa pembelajaran saat ini harus mampu memenuhi perkembangan zaman yang segalanya sudah berbasis digital dengan selalu menyediakan ruang gerak inovasi bagi para guru. Mulai dari pemberdayaan lingkungan yang akan menuntut profesional para guru dan juga memasukkannya ke dalam kajian kurikulum secara lengkap. Kemudian guru harus mampu menjadikan standar kompetensi dasar yang dapat terukur melalui proses pembelajaran yang mendukung. Akhirnya para guru diharapkan mampu memberikan fondasi bagi ketercapaian skill peserta didiknya khususnya dalam penguasaan teknologi, life skill, kemampuan berinovasi dan mencapai karir profesionalnya kelak (Darmawan & Wahyudin, 2018).

Model pembelajaran STEAM ini merupakan model pembelajaran yang berupaya menjawab atas keraguan dari sejumlah model Project Based Learning, Discovery, Inquiry, serta kesederhanaan dari metode eksperimentasi yang dilakukan para peserta didik dan guru di laboratorium IPA, Fisika, Biologi, Bahasa dan Matematika. STEAM banyak memberikan pembuktian atas keterkaitan antara rumpun mapel STEAM di sekolah-sekolah yang berusaha meyakinkan para peserta didik bahwa fenomena kehidupan di masyarakat dan kejadian-kejadian alam yang terjadi pada dasarnya sangat erat dengan ilmu-ilmu yang tergolong kepada rumpun mapel STEM (Darmawan & Wahyudin, 2018). Misalnya dalam pembelajaran matematika, para peserta didik masih menganggap bahwa tidak ada kaitannya matematika dengan kehidupan sehari-hari. STEAM ini yang menguatkan bahwa matematika adalah apa yang dialami oleh peserta selama hidupnya. Contohnya ketika mereka harus bangun untuk melaksanakan shalat shubuh. Peserta didik harus bisa melihat jam dengan memperhatikan posisi jarum jam pendek dan panjangnya. Hal-hal kecil seperti ini menjadikan model STEAM sebagai pembelajaran yang berorientasi terhadap peserta didik.

5. Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)

a. Konsep Dasar RME

Realistic Mathematics Education (RME) atau dalam bahasa Indonesia adalah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), menjadi salah satu teori pembelajaran dalam bidang matematika yang menggunakan situasi dunia nyata atau konteks riil dan pengalaman peserta didik sebagai titik tolak belajar matematika (Fathurrohman, 2017). Matematika sebagai suatu kegiatan manusia berarti matematika dapat dipelajari dengan mengerjakannya (doing mathematics). Oleh karena itu, pembelajaran matematika diterapkan melalui belajar dengan melakukan berbagai kegiatan (learning to do), sebagai upaya menemukan kembali suatu konsep matematika dari pemahamannya terhadap permasalahan nyata di kehidupan (Isrok’atun & Rosmala, 2018). 

Proses matematisasi merupakan suatu proses mematematikakan dunia nyata. Hal ini berarti realitas kehidupan dapat dirumuskan dalam suatu konsep matematika. Dalam proses matematisasi terdapat dua jenis, yakni matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Proses matematisasi horizontal yakni suatu proses penyelesaian masalah kontekstual dari dunia nyata yang terkait dengan matematika. Dalam hal ini, siswa mencoba menyelesaikan masalah matematika di dalam kehidupan dengan cara mereka sendiri, menggunakan bahasa dan simbol yang mereka tentukan secara mandiri sehingga menghasilkan sebuah konsep matematika. Dengan kata lain, konsep matematisasi horizontal berawal dari konsep dunia nyata menuju simbol dunia matematika yang bersifat abstrak. Sedangkan proses matematisasi vertikal merupakan suatu proses pembelajaran menggunakan simbol dan konsep matematika yang bersifat abstrak tanpa keterkaitannya dengan konsep nyata. Dengan demikian, proses matematisasi bergerak dari dunia simbol matematika itu sendiri. S uatu proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal menjadi sebuah alur pembelajaran matematika realistik. Pembelajaran diawali dari konteks dunia nyata yang dapat dibayangkan dan dipahami oleh siswa. Selanjutnya, kegiatan belajar mengarahkan siswa ke dalam bentuk pernyataan matematika. Proses perubahan tersebut menghasilkan simbol dan konsep matematika yang bersifat abstrak (proses formalisasi). Pada proses ini dibutuhkan pemahaman dari pernyataan simbol-simbol matematika.

b. Sintaks Model Realistic Mathematics Education

Pembelajaran matematika realistik memiliki beberapa tahapan atau sintaks pembelajaran. Sintaks pembelajaran ini sebagai jalan bagi siswa untuk me mahami konsep matematika secara utuh dan bermakna. Terdapat lima tahapan model pembelajaran matematika realistik, yakni sebagai berikut (Isrok’atun & Rosmala, 2018).

  1. Memahami Masalah Kontekstual. Tahap awal pembelajaran RME adalah penyajian masalah oleh guru kepada siswa. Masalah yang disajikan bersifat kontekstual dari peristiwa nyata dalam kehidupan sekitar siswa, sedangkan kegiatan belajar siswa pada tahap ini adalah memahami masalah yang disajikan dari guru. Siswa menggunakan pengetahuan awal yang dimilikinya untuk memahami masalah kontekstual yang dihadapinya.
  2. Menjelaskan Masalah Kontekstual. Guru menjelaskan situasi soal yang dihadapi siswa dengan memberikan petunjuk dan arahan. Guru membuka skema awal dengan melakukan tanya jawab tentang hal yang diketahui dan ditanyakan seputar masalah kontekstual tersebut. Hal ini dilakukan hanya sampai siswa mengerti maksud soal atau masalah yang dihadapi.
  3. Menyelesaikan Masalah Kontekstua. Tahap selanjutnya adalah kegiatan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang sebelumnya telah dipahami. Kegiatan menyelesaikan masalah dilakukan dengan cara siswa sendiri, dari hasil pemahamannya dan pengetahuan awal yang dimiliki. Siswa merancang, mencoba, dan melakukan penyelesaian masalah dengan berbagai macam cara sehingga tidak menutup kemungkinan setiap siswa memiliki cara penyelesaian yang berbeda-beda. Selain itu, guru juga memberikan motivasi kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajar melalui arahan dan bimbingan.
  4. Membandingkan dan Mendiskusikan Jawaban. Setelah siswa menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri, selanjutnya siswa memaparkan hasil dari proses pemecahan masalah yang telah dilakukan. Kegiatan belajar tahap ini dilakukan dengan diskusi kelompok untuk membandingkan dan mengoreksi bersama hasil pemecahan masalah. Dalam kegiatan ini, peran guru dibutuhkan dalam meluruskan dan memperjelas cara penyelesaian yang telah siswa lakukan.
  5. Menyimpulkan. Pada tahap akhir pembelajaran, kegiatan belajar siswa diarahkan untuk dapat menyimpulkan konsep dan cara penyelesaian masalah yang telah didiskusikan secara bersama-sama. Guru membimbing siswa dalam menyimpulkan dan memperkuat hasil kesimpulan siswa (Isrok’atun & Rosmala, 2018).

REFLEKSI PERKULIAHAN

Perkuliahan Filsafat Ilmu bersama dosen Prof. Dr. Marsigit, MA menekankan keterlibatan mahasiswa secara demokratis melalui pendekatan berpikir kritis selama proses perkuliahan. Mahasiswa didorong untuk menjadi pemecah masalah yang tangguh dengan menggunakan kemampuan keilmuan untuk menyelesaikan permasalahan sosial, khususnya masalah bidang pendidikan sesuai dengan latar belakang mahasiswa. Tujuan ini menjadikan mahasiswa belajar filsafat ilmu dengan tetap peduli terhadap kondisi dan perubahan paradigma pendidikan. Proses perkuliahan menginginkan filsafat ilmu membawa dampak positif pada seluruh perkembangan peradaban manusia dan mengembangkan kreativitas mahasiswa melalui pengalaman perkuliahan.

Mahasiswa terlibat cukup aktif dalam perkuliahan. Hal ini ditekankan oleh Prof. Dr. Marsigit, MA sebagai akar untuk melihat bahwa filsafat ilmu bisa memberikan kontribusi pada kepentingan pendidikan jangka panjang. Prof. Dr. Marsigit, MA memandang mahasiswa sebagai seseorang yang harus terlibat dalam perkuliahan filsafat ilmu dengan kegiatan pemecahan masalah, diskusi ilmu dan pengalamannya, serta lingkungannya. Hal ini diperlukan untuk memunculkan ide-ide dalam konsep pendidikan yang baru yang dapat menyesuaikan dengan tujuan dan cita-cita bangsa.

Sumber dan materi perkuliahan digunakan berdasarkan pandangan bahwa proses berpikir harus aktif, bervariasi, sosial, dan mandiri. Oleh karena itu, terdapat beberapa komponen utama sumber belajar dalam kuliah filsafat ilmu, antara lain: a) pemberian berbagai macam sumber-sumber praktis untuk memfasilitasi mahasiswa dalam mempelajari filsafat ilmu dengan tetap pendekatan yang bervariasi dan aktif; b) penyampaian materi yang otentik yang berhubungan dengan konteks pendidikan saat ini; c) pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk mengakses sumber belajar secara mandiri dengan tetap memperhatikan ketentuan seperti sumber rujukan, penulis, materi dan lainnya agar mahasiswa belajar dalam pengarahan dan bimbingan.

Proses penilaian dilakukan untuk mencari ukuran kompetensi yang bernilai sebagai prestasi positif setiap mahasiswa tanpa menyematkan label berdasarkan kemampuan atau menetapkan hirarki kemampuan masing-masing mahasiswa. Penilaian secara adil tanpa memperhatikan gender, ras, kelas, atau variabel sosial yang lain untuk menghindari adanya kompetisi. Berbagai macam bentuk penilaian digunakan termasuk tugas-tugas rutin dan kuis. Penilaian tugas dan nilai akhir bersifat terbuka dan didiskusikan bersama mahasiswa.

PENUTUP

Berfilsafat merupakan usaha untuk berusaha berfikir demi menemukan dan mencapai kebaikan serta kebenaran. Berfikir yang dimaksud dalam filsafat bukan sembarang berfikir, namun berpikir yang dilakukan secara radikal sampai ke akar-akarnya. Pada awalnya, ilmu merupakan bagian dari filsafat, yang menjadikan ilmu definisi ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu.

Sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman saat ini, ilmu mulai terpisah dari filsafat. Ilmu mulai berkembang dan mengalami deferensiasi hingga semakin terperinci spesifikasinya. Penyesuaian ilmu dan filsafat menandakan adalah bahwa keduanya menggunakan metode berpikir reflektif dalam upaya memaham fakta-fakta dunia dan kehidupan. Oleh karena itu filsafat maupun ilmu, berpikiran terbuka, kritis, serta sangat komitmen pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis. Filsafat ilmu (philosophy of science) adalah pemikiran reflektif terhadap permasalahan mengenai sifat dasar landasan-landasan bidang ilmu yang mencakup konsep, asumsi dasar, asas-asas, struktur teoritis, dan ukuran-ukuran kebenaran ilmu tersebut.

Eksistensi ilmu tidak dipandang sebagai sesuatu yang sudah berakhir, namun perlu untuk terus dikritisi, dikaji. Tujuannya bukan untuk melemahkan ilmu, melainkan untuk memposisikan ilmu secara tepat dalam batas wilayahnya. Filsafat ilmu bisa menjadi pengetahuan kita untuk memahami hakikat berbagai ilmu. Dalam hal ini, dirasa perlu untuk mengembangkan paradigma baru dalam berbagai hal dengan mengembangkan paradigma epistemologi pemecahan masalah di samping penemuan pengetahuan ilmiah. Demikian juga perlu dipikirkan pengembangan paradigma lain yang berkaitan dengan peningkatan kegiatan pendidikan dan keilmuan yang mampu memecahkan permasalahan keilmuan.

REFERENSI

Abdul, C. (2015). Filsafat ilmu: Pendekatan kajian keislaman. Arti Bumi Intaran.

Abidin, Z. (2011). Pengantar filsafat barat. Rajawali Pers.

Achmadi, A. (2012). Filsafat umum. RajaGrafindo Persada.

Aini, R. (2017). Titik temu ideologi pendidikan islam konservatif dan liberal. Edukasia Islamika, 2(2), 230–251. https://doi.org/10.28918/jei.v2i2.1670

Al-Tabany, T. I. B. (2014). Mendesain model pembelajaran inovatif, progresif, dan kontekstual: Konsep, landasan, dan implementasinya pada kurikulum 2013. Prenadamedia Group.

Alwasilah, A. C. (2008). Filsafat bahasa dan pendidikan. Remaja Rosdakarya.

Asy’arie, M. (2016). Filsafat ilmu: Integrasi dan transendensi. Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI).

Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu. RajaGrafindo Persada.

Darmawan, D., & Wahyudin, D. (2018). Model pembelajaran di sekolah. Remaja Rosdakarya.

Ernest, P. (1991). The philosophy of mathematics education. Falmer Press .

Etis, N. (2019). Buku ajar mata kuliah filsafat ilmu. UMSIDA Press.

Fathurrohman, M. (2017). Model-model pembelajaran inovatif: Alternatif desain pembelajaran yang menyenangkan. Ar-Ruzz Media.

Hakim, A. A. (2008). Filsafat umum dari mitologi sampai teofilosofi. Pustaka Setia.

Hamdayama, J. (2017). Metodologi pengajaran. Bumi Aksara.

Hasan, E. (2011). Filsafat ilmu dan metodologi penelitian ilmu pemerintahan. Ghalia Indonesia.

Hasnah. (2012). Paradigma pendidikan masa depan. Publikasi Pendidikan: Jurnal Pemikiran, Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat Bidang Pendidikan, 2(2), 130–138. https://doi.org/10.26858/publikan.v2i2.1414

Hermawan, A. H. (2011). Filsafat illmu. Insan Mandiri.

Hidayat, F. (2017). Pertumbuhan ideologi pendidikan di era reformasi: Kajian terhadap ideologi pendidikan di kuttab al fatih Purwokerto. LITERASI: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 85–98. https://doi.org/10.21927/literasi.2017.8(2).85-98

Huda, M. (2015). Model-model pengajaran dan pembelajaran. Pustaka Pelajar.

Idris, S., & Ramly, F. (2016). Dimensi filsafat ilmu dalam diskursus integrasi ilmu.

Isrok’atun, & Rosmala, A. (2018). Model-model pembelajaran matematika. Bumi Aksara.

Jalaluddin. (2014). Filsafat ilmu pengetahuan. Rajawali Pers.

Jalaluddin, & Idi, A. (2014). Filsafat pendidikan: Manusia, filsafat, dan pendidikan (Revisi). Rajawali Pers.

Khoeroni, F. (2017). Ideologi liberalisme sebagai dasar konsep pendidikan integratif. IJTIMAIYA: Journal of Social Science Teaching, 1(1), 79–94. https://doi.org/10.21043/ji.v1i1.3102

Lee Gutek, G. (1974). Philosophical alternatives in education. Charles E. Merrill Publishing Company.

Maksum, A. (2009). Pengantar filsafat: Dari masa klasik hingga postmodernisme. Az-Ruzz Media.

Muhadjir, N. (2015). Filsafat ilmu. Rake Sarasin.

Nicholson, D. W. (2016). Philosophy of education in action: An inquiry-based approach. Taylor & Francis.

O’neill, W. F. (2008). Ideologi-ideologi pendidikan: Terjemahan Omi Intan Naomi. Pustaka Pelajar.

Praja, J. S. (2003). Aliran-aliran filsafat & etika. Prenada Media.

Priansa, D. J. (2017). Pengembangan strategi dan model pembelajaran. Pustaka Setia.

Putra, I. Gd. D. D., Saputra, I. M. G. N., & Wardana, K. A. (2021). Paradigma pendidikan abab 21 di masa pandemi covid-19 (tantangan dan solusi). Pintu: Jurnal Pusat Penjaminan Mutu, 2(2), 2746–7074. https://stahnmpukuturan.ac.id/jurnal/index.php/jurnalmutu/article/view/1678

Rohman, A. (2009). Politik ideologi pendidikan. Laksbang Mediatama.

Saebani, B. A. (2009). Filsafat ilmu (Kontemplasi filosofis tentang seluk-beluk, sumber dan tujuan ilmu pengetahuan). Pustaka Setia.

Salam, B. (2005). Pengantar filsafat. Bumi Aksara.

Soelaiman, D. A. (2019). Filsafat ilmu pengetahuan: Perspektif Barat dan Islam. Bandar Publishing.

Sudiantara, Y. (2020). Filsafat ilmu. Universitas Katolik Soegijapranata. http://www.unika.ac.id

Sumarna, C. (2020). Filsafat ilmu: Mencari makna tanpa kata dan mentasbihkan tuhan dalam nalar. Remaja Rosdakarya.

Surajiyo. (2005). Ilmu filsafat suatu pengantar. Bumi Aksara.

Surajiyo. (2010). Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Bumi Aksara.

Suriasumantri, J. S. (1990). Filsafat ilmu. Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, A. (2013). Filsafat umu: Akal dan hati sejak thales sampai capra. Remaja Rosdakarya.

Umar. (2018). Filsafat ilmu: Suatu tinjauan pengertian dan objek dalam filsafat pengetahuan. EL-Muhbib: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Pendidikan Dasar, 2(2), 160–170.

Wahana, P. (2016). Filsafat ilmu pengetahuan. Pustaka Diamond.

Widyawati, S. (2013). Filsafat ilmu sebagai landasan pengembangan ilmu pendidikan. GELAR: Jurnal Seni Budaya, 11(1). https://doi.org/10.33153/glr.v11i1.1441

Wisarja, I. K., & Sudarsana, I. K. (2017). Refleksi kritis ideologi pendidikan konservatisme dan libralisme menuju paradigma baru pendidikan. Journal Of Education Research And Evaluation, 1(4), 283–291. https://doi.org/10.23887/jere.v1i4.11925

Zainuri, A. (2016). Pergeseran paradigma pendidikan di Indonesia. Conciencia, 16(2), 1–16. https://doi.org/10.19109/conciencia.v16i2.3419

Zaprulkhan. (2013). Filsafat umum sebuah pendekatan tematik. Rajawali Pers.

Tinggalkan komentar